Oleh : Nine Adien Maulana.*

Salah satu doa Rasulullah Muhammad SAW yang secara khusus memberi penghormatan kepada orang miskin adalah “Allaahumma ahyinii miskiinan wa amitnii miskiinan wahsyurnii fii zumrati masaakina yaumal qiyamah.

Artinya adalah Ya Allah hidupkan aku sebagai orang miskin dan matikan aku sebagai orang miskin serta kumpulkan aku bersama dengan orang-orang miskin pada hari kiamat.
Rasululah Muhammad sebenarnya bukanlah orang yang miskin, beliau berharta banyak. Setidak-tidaknya hal itu bisa dilihat dari nilai mahar yang beliau berikan kepada para istri beliau yang jika dirupiahkan jumlahnya sangat fantastis. Namun beliau memilih jalan hidup sangat sederhana, sehingga bisa merasakan secara langsung apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin.
Siapakah sebenarnya orang yang miskin itu, sehingga Rasulullah sedemikian mengistimewakannya. Ternyata yang dimaksud dengan miskin bukanlah sekadar orang yang lemah ekonomi, tidak memiliki harta, tidak mampu makan karena tidak ada yang dapat dimakannya. Di dalam kata miskin yang dimaksud oleh Rasulullah SAW terkandung makna kehormatan karena malu menjadi menjadi peminta-minta. Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari nomor 1476, beliau menjelaskan bahwa orang miskin itu bukanlah orang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi, miskin adalah orang yang tidak punya kekayaan, lantas ia pun malu atau tidak meminta-minta dengan cara memaksa.
Dengan demikian, tidak sepatutnya kata miskin diasosiasikan kepada pengemis, peminta-minta yang ada di pinggir-pinggir jalan, karena orang-orang ini sangat dikecam oleh Islam. Meskipun orang miskin itu lemah dan tak berharta, namun mereka malu melakukan tidakan hina yang dikecam itu.
Doa Rasulullah SAW itu bisa dipahami sebagai bentuk kehadiran dan kepedulian beliau kepada orang-orang lemah semacam itu. Maknanya adalah bahwa orang-orang yang kaya dan mampu harus proaktif mencari dan membersamai orang-orang miskin untuk berbagi dan peduli. Datangilah mereka, lihatlah keadaaannya, dengarlah curahan hati mereka dan berbagilah kepada mereka.
Dengan cara semacam ini, mereka akan merasa dimanusiakan. Bentuk kepedulian yang diterimanya menjadi sangat berarti untuk menghadapi kehidupannya dengan penuh semangat untuk mengubah keadaan yang dialaminya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan mental pengemis atau peminta-minta, yang menjadikan kemiskinannya dan kelemahannya sebagai komoditas untuk mendapatkan pemberian dari orang lain.
Berbagi dengan orang miskin dengan demikian tidak semata-mata memberi. Berbagi juga bukan sekadar mengeluarkan sebagian harta kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya (mustahiq zakat) yang jika tidak dikeluarkan akan menghilangkan keberkahan harta. Lebih jauh lagi, ia harus terencana secara matang sehingga bentuk kepedulian dan pemberian tepat guna dan tepat sasaran. Jika hal ini dilakukan, maka berbagi semacam ini menjadi wasilah mengangkat harkat dan derajat kehidupan mereka menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam menyantuni orang-orang miskin.
Kandungan makna ini berlaku umum baik bagi individu dalam mengeluarkan zakat, infak dan sedekahnya maupun, terlebih, kelompok yang mengelola dana sosial itu. Badan dan Lembaga Amil Zakat yang berada dalam masyarakat harus menangkap pesan dalam doa Rasulullah SAW itu kemudian diterjemahkan dalam bentuk program kepedulian kepada orang miskin secara kreatif, tepat guna dan tepat sasaran. [nam]

Penulis Adalah Guru SMA Negeri 2 Jombang Sekaligus Pengurus Baznas Jombang

Bagikan ini

Leave a Comment