Menurut pandangan Islam tentang kekayaan merupakan kemampuan untuk terus bertahan hidup yang ada, tanpa harus bekerja. Namun, sebenarnya kaya itu relatif. Ada orang yang tetap dapat bertahan hidup setelah berhenti bekerja.
Hidup dengan harta atau kekayaan yang berlimpah menjadi impian tersendiri bagi setiap orang. Pendidikan yang tinggi pun juga dianggap bagus apabila mampu membawanya meraih tingkat kesuksesan. Seseorang dikatakan sukses apabila ia memiliki harta dan kehidupan yang serba cukup. Kekayaan tidak selalu berwujud harta benda. Kekayaan yang sebenarnya tidak selalu diukur dengan besarnya angka-angka materi.
Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk menjadi kaya. Mencari kekayaan pun disyariatkan dalam Islam karena hal itu mencari rejeki dan berusaha di dunia sebagaimana yang telah tercantum dalam Al-Qur’an : “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi ; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Ahzab: 10).
Berikut ini beberapa hukum mengenai kekayaan menurut agama Islam:
- Wajib – jika usaha manusia itu dilakukan untuk memperoleh pendapatan memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya serta mencukupkannya dari meminta-minta.
- Sunnah – jika usaha manusia itu dilakukan untuk memberikan tambahan nafkahnya dan nafkah keluarganya atau untuk tujuan melapangkan orang-orang fakir, menyambung silaturahim, memberi balasan atau hadiah pada kaum kerabat, dan mencari kekayaan dengan niat seperti ini lebih utama daripada menghabiskan waktu untuk beribadah.
- Mubah (diperbolehkan) – jika untuk memberikan tambahan dari kebutuhan atau dengan tujuan berhias dan menikmati.
- Makruh – jika tujuannya mengumpulkan harta agar bisa berbangga-banggaan, sombong, bermegah-megahan, bersenang-senang hingga melewati batas walaupun dicari dengan cara yang halal. Hal ini sejalan dengan sabda Rasullullah saw, “Barang siapa yang mencari dunia yang halal untuk bermegah-megahan, berbangga-banggaan, dan riya maka ia akan bertemu dengan Allah SWT sedangkan Allah murka kepadanya.”
- Haram – jika dicari dengan cara yang haram seperti suap, riba dan lainnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam al Mausu’ah Al Fiqhiyah jus II hal 11384-11385).
Rasulullah menegaskan bahwa kekayaan yang sejati ada di dalam dada, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa. Hal ini ditegaskan bahwa sebenarnya persoalan anggapan bahwa seseorang disebut kaya atau miskin adalah murni masalah mental. Seseorang bisa merasa kaya walaupn memiliki sedikit harta karena ia berlapang dada dan selalu mensyukuri nikmat yang ada. Harta yang ia miliki digunakan untuk meningkatkan amal dan ibadah.
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Harta bukanlah banyaknya harta, tetapi harta adalah harta hati.” (Hadits riwayat Bukhari Muslim)
Ibnu Baththal berkata, “Hadis ini bermakna bahwa kekayaan yang hakiki bukan pada harta yang banyak. Karena, banyak orang yang Allah luaskan harta padanya namun ia tidak merasa cukup dengan pemberian itu, ia terus bekerja untuk menambah hartanya hingga ia tidak peduli lagi dari mana harta itu didapatkan, maka, sesungguhnya ia orang miskin, disebabkan karena ambisinya yang sangat besar.”
Dalam isalam ternyata kita bukan dituntut hanya untuk sekedar kaya, melainkan harus bisa bersyukur dari apa yang Allah berikan kepada kita. Karena pada hakikatnya ternyata kekayaan sesungguhnya adalah ketika kita bisa merasakan cukup dari apa yang diberikan oleh Allah Swt, namun kita harus tetap berusaha bekerja dengan keras demi mendapatkan harta yang halal agar bisa mewujudkan hal tersebut.

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua hati yang kaya dan sebagai orang yang beriman kita harus memahami kekayaan sebagai amanah dari Allah Swt yang harus dijaga dan digunakan untuk mencapai kesuksesan di dunia maupun akhirat. Wallohu’alam
Penulis : Yunita Insani