Prakitan 100 cc terhenti. Andik Santoso, turun dari tunggangannya di depan tempatnya mengabdi di SDN Jipurapah II Plandaan. Pagi itu sekitar pukul 9.40 WIB, lajang 33 tahun ini buru-buru menyodorkan tangannya kepada saya lantas mengajak bersalaman sambil berucap salam. Tubuhnya belepotan penuh lumpur.
Mengenakan seragam kebanggannya yang terdapat emblem logo Pemerintah Kabupaten Jombang. Namun jangan dibayangkan rapi penampilannya. Sebaliknya, lelaki yang akrab di sapa Andik ini mengenakan sepatu bot, tas ransel, dan kopyah. Meski tampah lelah dari raut mukanya, ia masih melempar senyum ramah kepada saya.

“Mesin motorku ambyar pak,” sahut pria berbadan tegap itu membuka percakapan dengan saya yang lebih dulu sampai. Andik Santoso sudah menjadi guru honorer di SDN Jipurapah II Plandaan sejak tahun 2006. Ternyata mesin motor yang menjadi teman setianya kala mengajar di daerah terpencil akhirnya menyerah juga pagi itu. Tragisnya ketika rusak ketika berada di tengah hutan Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan. Beruntung sehabat baiknya yang merupakan mantan Kepala Dusun Rapahombo, Desa Klitih, Kecamatan Plandaan, Siswo menolongnya segera sehingga tidak melewatkan perjumpaan dengan peserta didiknya.
Andik Santoso mengungkapkan, “Beginilah pak resiko yang bakal saya hadapi mengajar disini. Rumah saya di Kecamatan Sukorame, Kabupaten Lamongan menuju ke sekolah yang berjarak kurang lebih 14 kilometer.”
Memang jalanan menuju ke SDN Jipurapah II Plandaan sudah terkenal dengan jalanan tanah dan berbatu. Ketika hujan tiba maka akan berubah menjadi berlumpur dan licin, kalau tidak terbiasa dipastikan bakal jatuh bangun. Bahkan kalau melewati tepian sawah yang berada di hutan Jati milik Perum Perhutani, sudah persis aliran sungai. Tragisnya ia mesti juga membelahi sungai yang cukup lebar.
Andik Santoso bercerita, ia pernah berjalan dari rumah ke sekolah lantaran banjir. Kalau sudah banjir praktis motor kesayangannya tidak mampu menembus genangan air yang bisa jadi tingginya sama dengan motornya. Oleh karena itu ia terpaksa berjalan selepas subuh sepekan penuh selama empat bulan.
“Pernah sepulang sekolah ba’da dzuhur motor yang saya gunakan biasanya mogok di tengah hutan Jati Kecamatan Sukorame, karena tak dapat dibenahi dan sinyal handphone sulit. Motor terpaksa di tuntun ke rumah. Beruntung di perjalanan ketemu beberapa warga yang bersedia membantu sehingga tiba pukul 21.00 WIB,” jelasnya sembari membagikan sebaris senyuman.
Walaupun begitu banyak rintangan dan kesulitan yang dihadapi, tidak membuat Andik Santoso kapok. Padahal honor yang di terima hanya 350.000 rupiah saja. Itu pun tidak rutin tiap bulan diterimanya, kadang dua hingga tiga bulan sekali baru cair. Padahal kalau di hitung untuk memenuhi isi bahan bakar tiap hari dan memperbaiki kendaran jelas tidak cukup.

Beruntungnya Andik Santoso tak kehabisan akal, ia tetap bisa mencukupi kebutuhannya dengan menjual burung atau kayu bakar. Namun kalau terpaksa ada kebutuhan tak terduga, ia harus pinjam dulu ke sekolah.
Bagi Andik Santoso, peserta didik di desa terpencil harus terus diperhatikan. Mereka merupakan pelita untuk mengubah tanah kelahirannya lebih sejahtera dan mulia. Tidak hanya mengandalkan tangan dari luar. Melainkan justru dari anak-anak asli sana akan di tempa guna menjadikannya lebih maju. Jalaluddin Hambali